Di antara puing-puing distrik yang hancur itu, Szpilman tengah dirundung kerinduan. Sebagai seorang pianist, ia begitu merindukan jari jemarinya memainkan tuts piano dalam konser megah. Tapi sayang, kerinduan itu harus tertahan oleh sebuah perang. Ia harus bertahan hidup dan melawan maut yang mengintainya setiap saat. Maut itu bahkan tengah mengepungnya melalui serangan mesiu dan kelaparan.
Szpilman adalah salah satu korban dari perang yang tak pernah ia mengerti, kecuali satu hal: perang telah mengubah jalan hidupnya. Dan parahnya, ia terlahir sebagai seorang Yahudi. Dalam perang dunia II, perang, Nazi Jerman dan Yahudi adalah serangkaian kata yang mengarah tentang kekejian, kebengisan dan kekejaman. Di situasi itulah, Szpilman mengalami perubahan drastis dalam hidupnya.
Szpilman harus menerima kekejian Jerman. Yahudi Polandia mendapatkan peraturan yang tak manusiawi. Pembatasan kepemilikan, uang, property, bahkan akses pada ruang-ruang publikpun menjadi barang haram untuk dinikmati warga Yahudi. Pemusnahan nyawa menjadi tontonan umum. Di jalanan, ghetto, dan di tiap sudut terpencil menjadi ladang pembantain bagi warga Yahudi. Domino 99
Sebagai seorang pemain piano terkenal, Szpilman tiba-tiba harus merasakan penderitaan hidup yang tidak terkira. Sebelum perang berkecamuk dan Jerman berhasil menduduki Polandia, Szpilman adalah manusia kelas menengah dengan pergaulan mewah dan menjadi pianist terkenal. Tiba-tiba dia harus kehilangan segalanya, termasuk kelaurga yang ia cintai. Para tentara Jerman itu, berhasil memisahkan ia dengan keluarganya dan barang yang paling ia cintai, piano.
Perang selalu menyediakan kepedihan. Kemanusiaan menjadi asing sebab perang memberikan ketakutan, teror dan kesia-siaan nyawa. Di ujung mesiu, kemanusiaan runtuh dan menjelma puing-puing kesedihan, kehilangan dan kenestapaan tak berujung. Perang, dengan segala macam motif dan hasilnya, menyisakan kesan mendalam tentang kepedihan dan kehilangan. Hingga segalanya tak berpegang. Kecuali bagi manusia dengan sebuah keberuntungan yang akan selamat dan bertahan dari horror perang. Kisah “yang terberkahi”dengan segala keberuntungan memang begitu mempesona, mencabik sisi personalitas, juga ujung emosi bagiyang menyaksikannya.
Kisah berlatar belakang kecamuk perang dengan sudut pandang dari korban “yang terberkahi” itu hadir dalam film “The Pianist”. Diproduksi tahun 2002, oleh sutradara kelahiran Polandia yang juga punya keterkaitan sejarah Holocoust, Roman Polanski. Kita tahu, Polanski adalah korban dari sebuah kejahatan tentara Nazi Jerman. Semasa kecil, roman mengalami hidup di ghetto Auschwitz. Di ghetto itulah, ibunya akhirnya meninggal.
Melalui sisi personalitasnya, Roman Polanski berhasil memukau penonton dan mengantarkannya mendapatkan penghargaan sebagai Best Director pada ajang Oscar 2003. Pencapaian ini membuktikan bahwa personalitas yang tertuang dalam sebuah karya film mampu menggugah dan menyentuh imajinasi para penonton. Bagi yang tak pernah mengalami masa-masa perang, personalitas dalam film The Pianist mampu menggiring para penonton ke dalam sentimentalitas dan empati yang tinggi.
Dalam The Pianist¸ sentimentalitas dan empati itu sengaja dihadirkan dalam porsi besar dan penuh ketakterdugaan. Melalui tokoh Wladyslaw Szpilman yang diperankan Adrey Bordin, penonton dihadapkan pada situasi yang tak bisa menolak untuk bersimpati. Gambaran kepedihan, keterasingan dan kerinduannya membuncah melalui usaha Szpilman untuk tetap bertahan melewati masa perang.
Ia harus berpisah dengan seluruh keluarganya. Di giring ke ghetto Warsawa, lantas menjadi pekerja tak dibayar oleh pasukan tentara Nazi, dan menjadi pesakitan di tempat persembunyian yang ia dapatkan dari seorang teman Polandia non Yahudi. Szpilman, menjalaninya dengan penuh ketegangan. Bahkan ketakutan. Betapa banyak warga Yahudi yang menjadi kebengisan tentara Nazi, tewas ditembak tepat di hadapannya.
Kisah yang diangkat dari catatan pribadi Wladyslaw Szpilman ini sejatinya menceritakan bagaimana sang tokoh akhirnya melewati masa-masa kritis pendudukan Jerman di Polandia. Di antara tahun 1939-1943, Jerman bercokol di Polandia, dan di penghujungnya, Jerman berhasil didesak mundur dan menyerah oleh pasukan sekutu yang dimotori oleh Rusia. Di masa penghujung penjajajahan Jerman itulah peristiwa mengesankan terjadi pada diri Szpilman. Seorang kapten tentara Jerman, Wils Hosenholf, yang tidak sengaja menemukan Szpilman dalam sebuah reruntuhan rumah, membiarkan Szpilman untuk tetap hidup hanya karena sang komandan terbuai oleh permainan sang pianist dalam membawakan sebuah lagu Chopin-Ballade in G minor. BandarQ
Ternyata perang juga memberikan celah bagi perasaan untuk menolong. Dan kita tahu dari sosok Wilm Hosenfeld (Thomas Kretschmann): sang kapten tentara Nazi yang punya kuasa penuh atas nyawa Szpilman, malah memberikan kesempatan hidup bagi sang pianist. Perasaan itu, seperti sebuah konfirmasi atas nasib Jerman yang tengah terdesak, dan Hosenfeld berharap bahwa yang ia tolong itu, dikemudian hari mampu menolongnya. Karena perang, pada akhirnya akan memunculkan dendam. Dan kita tahu, Jerman akhirnya kalah oleh sekutu.
Szpilman akhirnya berhasil melewati masa-masa perang yang tak pernah ia tahu alasannya. Dan kerinduannya terhadap permainan pianonya segera terobati, di akhir cerita, ia terlihat begitu piawai memainkan lagu Chopin, Grande Pollonaise Briliante in E flat major” dalam sebuah konser yang indah nan megah di Warsawa.
The Pianist adalah salah satu film holoucost tersukses setelah Schindler’s List (1993) yang disutradarai Steven Spielberg. Walau tak sekolosal dan seheroik Schinder’s List, dan tak secerah komedi satir di Life is Beautiful (1997) yang dibuat oleh Roberto Benigni, The Pianist pantas menjadi film yang patut ditonton dalam hidup anda.
Sumber : https://solamrida.wordpress.com/2014/10/15/the-pianist-2002-perang-yang-mengubah-segalanya/